Tuesday, 7 June 2016

Makassar Sidoarjo Kediri Jogja 1



Selasa subuh 3 Mei 2016 . Bangun setengah 5 pagi, masih ngantuk setelah tadi malam nonton AADC 2 di XX1 sampai jam 11 malem. Gue harus bangun pagi demi Lion Air JT801 yang harus take off jam 6.40 wita untuk terbang membawa gue ke Juanda Sidoarjo. Jam 5 lewat dikit sudah ada sobat gue yang siap antar ke bandara tapi nggak gratis, lha iyalah, kan nganternya pake mobil, mobil butuh bensin dan bensin harus dibeli dengan uang, emang mbahmu bakul bensin piye….
Lion Air (Sumber : google)
 Sampai bandara Internasional Sultan Hasannudin di Maros, gue santai ngga buru-buru dan ngga biri-biri apalagi bere-bere dan bara bere…halah opo meneh iki…. Wis ojo ngelantur, jomblo kok ngelantur ae cuk…  Berbekal ransel Deuter biru kesayangan gue, yang sudah gue isi baju, kaos, celana pendek, celana panjang, dan tak lupa celana dalam, gue siap terbang menyeberang ke Jawa lagi, ke tanah tumpah darah gue. Masuk bandara enggak pake antri check in dulu, secara gue udah check in dari kantor Lion sehari sebelumnya karena gue tau kalo check in di bandara pasti antri lama dan kaki gue sayang kalo Cuma harus berdiri sia-sia demi sebuah kursi di pesawat. Jadi gue langsung masuk ke ruang tunggu. Oiya, kebetulan gue juga tidak nitip barang di bagasi pesawat secara punggung tua gue ini masih sanggup untuk dibebani ransel yang beratnya mungkin hampir 10 kg ini, paling-paling kalo nggak kuat besoknya gue kena encok.  Gue belum sarapan tapi itu nggak penting, secara gue udah kencing dan berak di kost. Saat perut masih kosong panggilan untuk boarding sudah menggema, eh tumben ini maskapai kok ga delay, karena maskapai satu ini punya reputasi delay yang bagus di republik ini. Duduk di kelas ekonomi dekat seorang gadis…maunya sih, tapi ternyata dekat dengan seorang anggota TNI…heheheeee… Seperti biasa, pesawat pushback, taxi, and then take off. Juanda Sidoarjo I am coming again and again and alone again, setelah sekali pernah ngga alone kali ini alone again, tapi alone alias sendiri aka dewekan maning lebih baik yang penting endingnya bagus daripada couple tapi endingnya malah runyam, yang ada jadi makan hati dan perasaan serta martabat dan harkat gue yang diinjak-injak bagaikan orang bikin tempe ….Asu..!

Setelah puas memandangi langit biru dan mbak-mbak pramugari yang lentik-lentik, akhirnya pesawat landing juga di Sidoarjo yang terkenal dengan kelezatan krupuk udangnya. Selamat jalan dan ucapan terima kasih dari mbak pramugari mengantarku turun dari boeing 737 900ER, sampai jumpa lagi di pelaminan mbak pramugari….daaaahhhh….muach…cipok basah di pipi… Sampai di bandara tujuan ada ritual wajib yang harus gue lakukan yaitu pipis, karena dinginnya AC pesawat membuat isi kantung kemih ini bergolak untuk segera dibuang di tempat yang sudah ditentukan, bukan di ban truk yang sedang parkir seperti yang sering gue lakukan dulu kalo melakukan perjalanan dengan bis malam dalam situasi terjebak macet. Sekarang harus lebih beradab sesuai sila kedua Pancasila, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Opo maneh iki, kok malah bahas PPKn..

Damri Juanda Ilustrasi (sumber : google)


Tiket Damri (pribadi)

Lanjut lagi di darat. Sesosok Damri Mitsubishi Canter karoseri Restu Ibu Bogor siap membawa gue menuju terminal Bungurasih Sidoarjo dengan mahar tjukup 25 ribu rupiah saja. Setelah sekitar sejam menembus macetnya Sidoarjo, karena memang pas dengan orang yang akan berangkat bekerja, akhirnya kakiku kembali menginjak pelataran terminal yang konon pernah menjadi terminal termegah se Asia Tenggara ini. Di tempat yang penuh akan kenangan ini ada ritual wajib yang biasa gue lakukan juga, yaitu makan soto. Dan tak lupa, pipis juga. Ada yang berubah dari sosok terminal ini, iya, kamu sekarang berubah. Walau belum 100 persen sempurna tapi terlihat lebih rapi, cuma sekarang kelihatannya pentas musik dangdutnya dihilangkan, atau belum mulai gue ngga tau. Pas gue mau tanya sama petugas terminal tentang musik dangdut, gue bingung karena gue sendiri ngga suka dengan musik dangdut, tapi kalau lihat penampilan artis dangdut yang cewek gue tetep suka. Lha kok jadi mbahas dangdut, lha embuh. Tapi yang bagian cerita dangdut  ini gue ngarang dan gue 100 persen bohong. Gue langsung menuju ke ruang tunggu di mana sekarang terdapat kaca yang besar, jadi kita bisa lihat pemberangkatan bis AKDP dan AKAP dari balik kaca, walaupun masih agak panas tempatnya karena tidak ada AC apalagi kipas angin yang sepoi-sepoi. Tujuan gue kali ini bukan langsung pulang ke Jogja, tapi Kediri, kabupaten di Jawa Timur yang letaknya agak ke barat selatan (kalo ngga salah barat laut sebutannya), gue mau pergi menyepi di tempat ziarah Goa Maria Puhsarang Kediri. Diantara hiruk pikuk pemberangkatan bis Jawa Timuran, mata gue langsung tertuju pada bis dengan warna dominan putih dan sedikit merah kombinasi orange, bis Patas Harapan Jaya. Bis ini jurusan Surabaya Trenggalek dan tentu saja melewati Kediri lebih dulu. Harapan Jaya sudah tampak terparkir di area pemberangkatan tujuan Kediri, tapi gue ngga langsung menuju bis yang terparkir tersebut, gue tunggu bis yang di belakangnya, masih bis yang sama juga. Begitu gue keluar dari ruang tunggu, gue berasa jadi artis, karena di luar sudah disambut oleh para crew bis yang sibuk menawarkan jasanya bisnya kepada calon penumpang. Tapi gue sudah biasa dengan situasi ini, dan jurus cuek dan sedikit lambaian tangan tanda penolakan gue selalu berhasil memPHP para crew ini, karena gue sudah yakin dengan pilihan gue. Masuk ke dalam bis, gue cari kursi kosong,  bukan untuk gue bawa pulang tapi untuk gue dudukin dari Sidoarjo ke Kediri. Gue duduk di baris kediua sebelah kiri, sebenarnya pengin duduk di kursi terdepan tapi sudah ada yang isi, mau gue usir penumpang tersebut tapi gue malu dan yang pasti gue ngga tega, gue harus sportif terima kekalahan ini, gue ngga bisa duduk di deretan terdepan. Bis ngetem sekitar sejam, entah berapa puluh pedagan asongan yang gue cuekin, juga para musisi jalanan yang selalu menghibur para penumpang dengan menyanyi lagu-lagu yang saat ini lagi jadi top hits di radio, tapi maaf, gue lupa bawa uang receh, jadi terpaksa gue tidak bisa bersedekah untuk para musisi jalanan ini. Sambil menunggu bis berangkat, gue teringat memori lama yang saat ini mungkin sudah hilang dalam setiap perjalanan gue, karena sejak gue tinggal di Makassar, gue biasa langsung terbang point ke point, maksudnya dari kota keberangkatan langsung ke kota tujuan, dan gue selalu dihadapkan dengan kenyamanan dari sebuah layanan di bandara yang selalu tertib dan teratur. Sekitar jam 10 pagi bis berangkat dari terminal Bungurasih dan siap membawa gue dan semua penumpang menuju Kediri, kabupaten yang baru pertama kali aku injak seumur hidup gue ini. Seluruh kursi terisi penumpang, tersenyumlah pak sopir dan kondektur dengan kenyataan ini, Puji Tuhan lancar setoran, juragannya pun akan senang. Rute seperti biasa, Sidoarjo, Mojokerto, Jombang, Kertosono, Kediri, cukup dibayar dengan harga tiket 30 ribu rupiah, dengan fasilitas AC, dan lama perjalanan sekitar 3 jam. Sepanjang perjalanan pak sopir membawa bis dengan kalem dan cekatan, tidak seperti bis patas yang ke arah Solo atau Jogja yang biasanya langsung gas pol, kali ini bener-bener tipikal santai tapi tepat waktu, yang akhirnya sukses mengantar gue sampai di kabupaten Kediri. Gue akhiri perjalanan dengan Harapan Jaya di terminal kabupaten Kediri. Terima kasih pak sopir. Turun di terminal gue langsung disambut tukang ojek yang siap menawarkan jasanya, tapi terpaksa gue tolak dulu walaupun terus terang gue butuh ojek karena tidak ada angkutan lain selain ojek. Bukan tanpa alasan, perut gue mulai lapar dan saat ini pas menunjukkan waktu makan siang walau sudah agak telat. Gue muter-muter cari warung yang kira-kira bisa menjadi tempat makan dan istirahat sejenak. Akhirnya gue bisa makan, sayur asem dan telur dadar tambah sebotol air mineral gue tebus dengan 10 ribu rupiah, cukup membuat gue kenyang dan siap melanjutkan perjalanan ke tujuan. Goa Maria Puhsarang sudah di depan mata, tinggal selangkah lagi. Waluapun gue belum pernah ke sana, tapi dari literatur yang gue dapat dari google tempatnya tidak jauh dari terminal. Oiya, gue juga sempat bertanya kepada Ibu penjaga toilet di terminal tentang seberapa jauh Puhsarang dari terminal ini, beliau bilang agak jauh, sekitar 5 km, padahal gue pikir kalo Cuma 2-3 km gue mau jalan kaki saja ke sana, akhirnya pilihan terakhir adalah ojek, dan ibu penjaga toilet juga mengatakan angkutan yang ada ya hanya ojek itu. Ternyata google tetap masih kalah dengan penduduk lokal. Mantap euy….
Patas Harapan Jaya (sumber : poharapanjaya.com)

Tiket Bus Patas Harapan Jaya (pribadi)

Terminal Tamanan Kediri (sumber : google)

Jalan keluar terminal langsung gue dipanggil salah satu tukang ojek yang sudah mangkal di sana, tawar menawar harga gue ditembak 25 ribu rupiah, sempat gue tawar 20 ribu tapi dia tetep kekeuh dengan tarifnya, ya sudah gue ngalah, gue bayar yang penting gue diantar dengan selamat sampai di tujuan.   

Ngojek sekitar 15 menit, akhirnya gue sampai di Goa Maria Puhsarang. Gue pengin menyepi sejenak dari rutinitas dan dari penatnya masalah yang akhir-akhir ini selalu hinggap dalam kehidupan gue. Ya, gue mau berdoa dan beristirahat sejenak di tempat ini, gue mau tenang dulu. 

Gereja Puhsarang Kediri (pribadi)


to be continued.....

No comments:

Post a Comment